Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Deklarasi Universal HAM (DUHAM) serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari pelaksanaan fungsi Komnas HAM sepanjang tahun 2009, dapat dicatat perkembangan strategis kondisi HAM di Indonesia selama tahun 2009, sebagai berikut :
A. Kondisi Umum
UUD 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 71 dan Pasal 72 UU 39/1999 juga menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Tap MPR No.XVII/MPR/1998 juga menugaskan lembaga-lembaga negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU 39/1999. Partisipasi ini dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan atau terjadinya Pelanggaran HAM atau lembaga lain yang berwenang, mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan HAM dan atau lembaga lainnya, dan melakukan penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai HAM.
Komnas HAM memberikan apresiasi atas keseriusan pemerintan dalam pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, antara lain dengan dimasukkannya agenda hak asasi manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai tindak lanjut dari penjabaran dari program-program yang disampaikan oleh Presiden pada saat kampanye. Sementara pada tataran regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara, kami mencatat adanya kemajuan yang penting. Hal ini antara lain dengan terbentuknya lembaga atau badan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Dengan lahirnya badan tersebut, diharapkan dapat memberikan peranan yang berarti dalam rangka pemajuan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, kondisi pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia selama 2009 belum mengalami kemajuan signifikan. Kita belum mampu memutus mata rantai impunitas dalam penegakan hak asasi manusia. Hal ini, terlihat antara lain, dengan belum terselesaikannya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya untuk kasus-kasus yang hasil penyelidikannya telah diselesaikan oleh Komnas HAM dan sudah diserahkan kepada Jaksa Agung. Selain itu, kita gagal memberikan perlindungan yang memadai terhadap perlakuan-perlakuan diskriminasi yang merebak dalam tahun ini.
B. Kondisi Hak Sipil dan Politik
1. Dengan segala kekurangan yang ada, Komnas HAM mengakui bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 secara umum berjalan dengan tertib dan aman. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan peran aktif masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif demi terselenggaranya PEMILU dengan aman dan tertib. Hak untuk memilih (right to vote) merupakan salah satu hak fundamental yang dijamin di dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, berbagai peraturan nasional, jaminan pertisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Walaupun secara tegas jaminan warga Negara dalam menggunakan hak pilihnya telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pada kenyataannya dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 didapati adanya berbagai bentuk pelanggaran hak sipil dan politik warga Negara, antara lain :
a. Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara massive (25 – 40 persen warga yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik (kelemahan melekat dalam sistem pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah RI. Sementara itu pada level Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat massive dan sistematis.
b. Hilangnya hak sipil warga Negara dengan tidak dicatatkannya didalam sistem administrasi kependudukan.
c. Hilangnya hak politik warga Negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
2. Komnas HAM menghargai upaya yang serius yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan reformasi di tubuhnya. Komnas HAM menyambut baik lahirnya Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang Penerapan Standar-standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian. Tetapi kami juga mencatat masih adanya tindakan yang mengarah pada police abusive, seperti dalam operasi pemberantasan terorisme. Aparat kepolisian kurang memperhatikan hak asasi manusia para tersangka dan anggota keluarganya, sehingga terjadi adanya tindakan kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak atas hidup terhadap para tersangka. Begitu juga dalam menghadapi petty crime, juga sering terjadi salah tangkap dan penggunaan kekerasan di luar keperluan.
3. Dalam rangka pengungkapan kasus pembunuhan Munir, Komnas HAM mencatat bahwa memang benar proses peradilan mengenai perkara pembunuhan Munir telah dijalankan dalam melakukan penuntutan dan penghukuman atas para pelaku kejahatan. Namun, dari hasil eksaminasi terhadap perkara pembunuhan Munir yang dilakukan Komnas HAM, terlihat kurang pertimbangan hukum yang cukup dalam memutus perkara (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dipandang sebagai kelalaian dalam beracara (vormverzuim) yang mengakibatkan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam memutus perkara. Bardasarkan pada berbagai pengujian dalam proses peradilan, khususnya terhadap proses persidangan terdakwa yang digelar terkesan melindungi terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, setelah melakukan analisis terhadap fakta hukum yang diajukan di persidangan, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
4. Digunakannya praktik-praktik kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti penembakan terhadap para petani di Palembang, penembakan terhadap para tersangka tindak pidana kriminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat keamanan telah mengakibatkan tidak terlindunginya hak atas rasa aman dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Peristiwa ini menunjukkan belum cukup terlindunginya salah satu hak asasi manusia, yakni hak atas rasa aman. Masih kentalnya budaya kekerasan di jajaran kepolisian juga masih tampak kuat. Terakhir kita bisa melihat bagaimana sejarawan alumni UI, JJ Rizal dikeroyok dan dianiaya oleh 5 (lima) anggota polisi.
5. Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Seorang nenek yang mencuri tiga buah coklat dihukum oleh pengadilan, sementara penikmat BLBI bebas dari jerat hukum. Selain itu, praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan. Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus penyiksaan yang dilakukan pada saat proses penyelidikan dan penyidikan serta adanya rekayasa dalam proses hukum, antara lain kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
6. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih belum ada perkembangan di Kejaksaan Agung. Sampai dengan akhir tahun 2009 ini setidaknya 7 (tujuh) hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti Jaksa Agung, yakni peristiwa Penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Kasus Wamena, dan Peristiwa Wasior. Komnas HAM menghargai adanya upaya yang serius dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk penyelesaian peristiwa penghilangan orang secara paksa dengan mengirimkan rekomendasi kepada Presiden untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi sampai dengan akhir 2009, belum ada perkembangan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden.
7. Tidak terpenuhinya hak sipil sebagian bangsa ini juga masih berlangsung selama 2009. Dapat dicatat, antara lain, tetap belum teratasinya kesulitan bagi pemeluk agama atau penganut kepercayaan di luar agama yang diakui oleh Pemerintah untuk melangsungkan perkawinan dan sekolah. Hal ini dialami oleh pemeluk agama atau kepercayaan seperti Syiah, Baha’i, Ahmadiyah, dan sebagainya.
8. Pelanggaran hak sipil dan politik dalam pelaksanaan operasi yustisia oleh Pemda DKI masih diteruskan padahal setiap warga negara mempunyai hak untuk bertempat tinggal dan berpindah tempat tinggal. Selain lahirnya banyak Perda yang bertentangan dengan Kovenan Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, antara lain Qanun Jinayah di Aceh, Jum’at Qusyu, Qatam Quran dan lain-lain.
9. Pelanggaran hak sipil dan politik juga masih mewarnai dan semakin mengental di daerah Papua. Memanasnya situasi politik di Papua telah direspon oleh pemerintah dengan pendekatan represif. Penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap warga Papua kembali menjadi berita media dalam dan luar negeri. Komnas HAM juga mencatat adanya kekerasan di penjara-penjara Papua, khususnya terhadap tahanan-tahanan politik, seperti antara lain dialami oleh Muhtar Tabuni.
C. Kondisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
1. Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak EKOSOB), masih ada pandangan yang melihat hak EKOSOB dianggap bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. Hak asasi manusia, terutama hak EKOSOB tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach). Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kelaparan, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
2. Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sampai dengan akhir 2009 masih saja terjadi sehingga telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Pemerintah kewalahan menghentikan semburan, merelokasi warga yang tempat tinggalnya tergenang lumpur, dan meminta petanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc, sebagai operator eksplorasi sumur Banjar Panji, Sidoarjo. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap. Namun penyelesaian ganti rugi dalam bentuk jual beli itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah dijanjikan. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah, tidak saja, abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi. Selain itu, dari hasil pengkajian yang dilakukan Komnas HAM didapati adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dari peristiwa tersebut, akan tetapi pemerintah telah mengabaikan rekomendasi Komnas HAM untuk memulihkan hak-hak para korban yang telah terlanggar.
3. Tindakan penggusuran yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan tidak terlindunginya hak bertempat tinggal dan berusaha para korban karena penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal atau tempat berusaha sebagai penggantinya. Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan pemukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.
4. Maraknya kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami penderitaan sebagai akibat korban penyiksaan oleh majikan, perkosaan maupun tindakan keji dan tidak manusiawi lainnya juga menambah catatan kelam tidak seriusnya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia, khususnya yang sedang bekerja/berada di luar negeri. Maraknya kasus-kasus ini juga disebabkan oleh adanya dualisme dalam penempatan TKI ke luar negeri, yaitu oleh BNP2TKI dan Depnakertrans. Dualisme ini harus diakhiri.
5. Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor: PER.16/MEN/IX/2008, 49/2008, 932.1/M-IND/10/2008, 39/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global. Sesungguhnya, perlindungan negara kepada warganya harus meliputi perlindungan kelompok rentan, yang relatif tidak memiliki kesamaan kedudukan di dalam negara. Membiarkan buruh/pekerja berhadapan langsung dengan pengusaha dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing merupakan pengabaian hak-hak buruh sebagai bagian dari hak asasi yang seharusnya mendapat perlindungan dari Pemerintah, dan hal itu akan berimplikasi langsung pada semakin meluasnya pengangguran.
6. Krisis global yang melanda dunia juga telah berimbas pada kondisi perekonomian di Indonesia. Hal ini telah mengakibatkan tidak terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan/atau budaya bagi sebagian besar bangsa ini, terutama yang menyangkut hak atas kesejahteraan. Tetap tingginya jumlah penganggur, sulitnya memperoleh lapangan kerja, tingginya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terepenuhinya hak atas pendidikan sebagian besar anak bangsa atas haknya atas pendidikan, tetap kurangnya perhatian yang diberikan kepada penderita cacat serta golongan rentan lainnya.
7. Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan kelaparan di Yahokimo dan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Berbagai kasus kurang gizi/gizi buruk dan berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya diamati juga meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinann telah dilakukan oleh negara, antara lain melalui Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung dan berharap pada bantuan. Komnas HAM juga mengamati bahwa upaya pengentasan kemisknan tidak dilakukan dengan memastikan terpenuhinya hak-hak eskonomi, sosial, dan budaya.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari berbagai perkembangan strategis dalam pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia selama 2009 secara umum dapat diambil simpulan sebagai berikut :
Kondisi hak asasi manusia selama 2009 masih belum banyak berubah dibanding tahun lalu, masih belum mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini antara lain dapat dilihat dengan belum adanya langkah-langkah yang serius dan terencana dengan baik oleh pemerintah untuk pemenuhan hak asasi manusia baik di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya maupun di bidang hak sipil dan politik.
Permasalahan hak asasi manusia di bidang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya antara lain tergambarkan dengan masih maraknya kasus-kasus konflik agraria, perburuhan, penggusuran, kelaparan, buruknya kesehatan, tingginya angka kematian ibu serta masih tingginya angka pengangguran. Tidak ada perlindungan yang memadai terhadap tenaga kerja kita di luar negeri, kegagalan program penanggulangan kemiskinan dan terjadinya pemiskinan.
Permasalahan hak asasi manusia di bidang Hak Sipil dan Politik antara lain tergambarkan dengan masih terjadinya praktik tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta belum adanya keinginan atau political will dari pemerintah untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Impunitas masih belum bisa kita patahkan.
Ketegangan politik di Papua telah memperburuk kondisi baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penangkapan, penahanan, dan penembakan masih terus berlangsung. Begitu pula dengan angka kematian anak karena kekurangan gizi, angka penderita HIV/Aid terus meningkat, dan kelaparan terus terjadi di daerah ini.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, untuk lebih menjamin adanya suatu perubahan yang berkelanjutan bagi kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, maka Komnas HAM merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Komnas HAM mendesak pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi berbagai instrumen internasional hak asasi manusia, dengan memberi prioritas pada Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute International Criminal Court), Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol Convention Against Torture), Konvensi Internasional tentang Penyandang Cacat, Konvensi Internasional tentang Pekerja HAM, Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa. Dalam rangka untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi para Tenaga Kerja Indonesia, pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi juga Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families). Dalam kontek ini hendaknya pemerintah segera mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2009 – 2014.
2. Perlu ditinjau kembali pendekatan hukum yang represif dalam penyelesaian konflik politik di Papua yang diterapkan saat ini. Langkah yang dilakukan sekarang lebih banyak melahirkan kekerasan dan jatuhnya korban. Komnas HAM mendesak perlunya dilakukan langkah-langkah politik daripada hukum dalam penyelesaian konflik di Papua. Langkah dialog atau perundingan sudah harus dipikirkan oleh pemerintah.
3. Penuntasan berbagai bentuk kasus pelanggaran hak asasi manusia merupakan kewajiban pemerintah, oleh karena itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah secara berkala menginformasikan kepada publik mengenai status perkembangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang ditangani. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat tentang tidak adanya kemungkinan untuk menutupi keterlibatan aparatur pemerintah serta menjamin tidak adanya praktik-praktik impunity bagi mereka yang terlibat. Langkah ini juga menjadi penting dalam rangka terus membangun suatu kepercayaan publik terhadap kesungguhan pemerintah untuk melindungi, menegakkan, memajukan dan memenuhi hak asasi manusia.
4. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau dapat dimaafkan, akan tetapi tidak dapat dilupakan. Penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau merupakan luka-luka yang perlu disembuhkan sehingga bila tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka akan menghambat langkah ke masa depan yang lebih baik. Oleh kerena itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah dan DPR dapat dengan segera menuntaskan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan segera mengundangkannya, sehingga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut berbagai permasalahan hak asasi manusia di masa lampau dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan rasa keadilan bagi para korban maupun keluarga korban.
Akhirnya Komnas HAM mengharapkan perhatian yang sungguh-sungguh oleh Pemerintah dan DPR terhadap pemajuan HAM yang telah ditunjukkan selama 2009 dapat berlanjut di tahun mendatang. Di samping itu, menjadi harapan Komnas HAM pula agar semua lembaga negara, lembaga pemerintah, aparatur negara, dan semua pihak yang peduli HAM untuk menunjang upaya perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM seluruh bangsa ini bagi terciptanya masyarakat yang demokrasi yang bercirikan supremasi hukum dan penghormatan HAM.
Jakarta, 9 Desember 2009
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
KETUA
IFDHAL KASIM, S.H. |