• Sedang Berkunjung

  • Statistik Kunjungan

    • 27.916.359 hits
  • Negara Pengunjung

    Flag Counter
  • Arsip Tulisan

  • Kategori

  • Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

    Bergabung dengan 8.377 pelanggan lain
  • Komentar Baru

    Kak Ichsan pada Gratis, Buku Husein Mutahar da…
    Asli Arpani pada Gratis, Buku Husein Mutahar da…
    Harvest Moon: Light… pada Lirik Lengkap Indonesia Raya (…
    andri pada Download Indeks Alquran 30 Juz…
    alex sutja pada Kalender: Nama Bulan Masehi, H…
    stevenz pada Lambang Nahdlatul Ulama (NU) d…
    Bahagia dengan Menci… pada Pemakaian Tanda Tanya (?) dan…
    Dr.Prabowo Endropran… pada Syair Lagu Mars PGRI
    Dr.Prabowo Endropran… pada Syair Lagu Mars PGRI
    Matsan Saga pada Partitur Paduan Suara Himne…
    ayu cahyani pada Lagu Pramuka: Kelana Rimb…
    Kak Ichsan pada Melihat Nilai Akreditasi Sekol…
    Subandi pada Melihat Nilai Akreditasi Sekol…
    ugick adjach pada Puisi: Aku (Chairil Anwar…
    Kak Ichsan pada Tujuan dan Manfaat NISN
  • RSS Partitur Piano

  • RSS Partitur Paduan Suara

  • RSS Partitur dan Kunci Gitar

  • MP3 Pilihan

  • Pintu Khusus

  • Cek Tagihan

  • RSS Lagu Daerah

  • RSS Sayembara

Prangko Seri Cut Nyak Dhien


Pos Indonesia dalam rangka mengenang 100 tahun meninggalnya seorang pahlawan, pejuang wanita yang gagah berani berasal dari Aceh pada tahun 1908. Pejuang wanita ini meninggal dalam pengasingannya, sebuah akhir di tanah sepi di Sumedang, Jawa Barat. Jauh dari tanah kelahirannya, jauh dari keluarganya, renta, tua, rabun dan menderita encok, sendiri dan jauh dari orang-orang yang mencintai dan dicintai dirinya. Ya, hari-hari akhir pejuang wanita ini memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi.

Pada saat kematiannya, 08 November 1908, warga setempat tidak mengetahui siapa sebenarnya wanita tua itu. Identitas sengaja dirahasiakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka memanggilnya dengan nama ibu Perbu yang berarti Ratu.

Tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil ibu Perbu adalah The Queen of  Aceh Battle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Siapa sesungguhnya ibu Perbu baru terungkap pada tahun 1960. Informasi berasal dari surat resmi di Hindia Belanda tulisan kolonial Verslag yang menyatakan bahwa Tjoet Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Terlahir dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Dari seorang ayah yang bernama Teeku Nanta Setia yang merupakan keturunan perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh di sekitar abad 18.

Tumbuh sebagai seorang gadis yang cerdas dan menikah pada usianya yang ke 12 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga.

Perang Aceh
Agresi Belanda pada tahun 1873 telah menggerakkan seluruh rakyat Aceh, termasuk Teuku Ibrahim untuk berjuang mengusir kaum kolonial. Dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle’Taron pada 1878, Teuku Ibrahim dengan beberapa pengikutnya gugur. Kematian orang yang dicintainya itu bukan memadamkan semangat berjuang untuk mengusir kaum kolonial tetapi semangat juang itu tetap berkobar di dalam dadanya, semakin mendorong Tjoet Nyak Dhien turun langsung di medan perang.

Setelah beberapa lama menjanda, ia menikah kembali dengan Teuku Umar. Pasangan suami istri ini kemudian melanjutkan perang melawan penguasa Belanda. Pada tahun 1899 Teuku Umar gugur pda pertempuran di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh.

Meskipun tubuh telah renta serta penyakit encok menggerogoti dan melemahkan dirinya, tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berjuang.

Prangko Cut Nyak Dhien
Perang Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah air. Bagi Tjoet Nyak Dhien, perang Aceh bukan hanya milik Teuku Umar, Teuku Cek Ibrahim Lamnga atau monopoli para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat Aceh.

Sebagai penghormatan terhadap semangat juang yang tinggi yang ditunjukan oleh seorang perempuan bernama Tjoek Nyak Dhien, Pos Indonesia menerbitkan prangko seri beliau pada 5 November 2008.

Tinggalkan komentar