• Sedang Berkunjung

  • Statistik Kunjungan

    • 27.908.986 hits
  • Negara Pengunjung

    Flag Counter
  • Arsip Tulisan

  • Kategori

  • Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

    Bergabung dengan 8.377 pelanggan lain
  • Komentar Baru

    Kak Ichsan pada Gratis, Buku Husein Mutahar da…
    Asli Arpani pada Gratis, Buku Husein Mutahar da…
    Harvest Moon: Light… pada Lirik Lengkap Indonesia Raya (…
    andri pada Download Indeks Alquran 30 Juz…
    alex sutja pada Kalender: Nama Bulan Masehi, H…
    stevenz pada Lambang Nahdlatul Ulama (NU) d…
    Bahagia dengan Menci… pada Pemakaian Tanda Tanya (?) dan…
    Dr.Prabowo Endropran… pada Syair Lagu Mars PGRI
    Dr.Prabowo Endropran… pada Syair Lagu Mars PGRI
    Matsan Saga pada Partitur Paduan Suara Himne…
    ayu cahyani pada Lagu Pramuka: Kelana Rimb…
    Kak Ichsan pada Melihat Nilai Akreditasi Sekol…
    Subandi pada Melihat Nilai Akreditasi Sekol…
    ugick adjach pada Puisi: Aku (Chairil Anwar…
    Kak Ichsan pada Tujuan dan Manfaat NISN
  • RSS Partitur Piano

  • RSS Partitur Paduan Suara

  • RSS Partitur dan Kunci Gitar

  • MP3 Pilihan

  • Pintu Khusus

  • Cek Tagihan

  • RSS Lagu Daerah

  • RSS Sayembara

Biografi Gus Dur dan Keluarga


Innalillahi wainna ilaihi raajiuun . . . Gus Dur meninggalkan kita. Bukan hanya bangsa Indonesia yang merasa kehilangan melainkan dunia juga merasa kehilangan. Jasa Gus Dur terhadap bangsa Indonesia sangat banyak. Di antaranya, gigih memperjuangkan demokrasi, dan peduli terhadap umat manusia tanpa membeda-bedakan. Selamat jalan Gus, bersama rahmat Allah SWT.

Untuk mengenang kebesaran Gus Dur, berikut biografi Gus Dur, Ny. Sinta Nuriyah Wahid (istri), Sholichah (Ibu), dan Yenny Wahid (anak).

1. Gus Dur

Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden RI ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .

Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.

Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.

2. Ny. Sinta Nuriyah Wahid

Sinta Nuriyah Wahid Lahir di Jombang, 8 Maret 1948 mendapat gelar First Lady (Ibu Negara) ke-4
bersuamikan KH Abdurrahman Wahid. Menikah pada tanggal 11 September 1971, dikaruniai empat anak yaitu: Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), Inayah Wulandari (Ina).

Pendidikan terakhir Program S-2 Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, Depok
Pekerjaan Pendiri dan Pimpinan Yayasan PUAN Amal Hayati, didirikan 3 Juli 2000 dan mulai beroperasi Maret 2001 dengan Penguasaan Bahasa:Inggris, Arab dan Perancis. Alamat:Jl. Warung Sila No. 10 Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan

Ibu Negara ke-4 ini sudah sangat terbiasa menghadapi perilaku suami yang kontroversial. Maka, ia pun tak terlalu merasa kaget ketika MPR RI tahun 1999 mengangkat suaminya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI. Ia juga tak perlu merasa kehilangan ketika oleh lembaga dan anggota yang sama, MPR di tahun 2001 menurunkan suaminya dari kursi kepresidenan.

Sebelum suaminya belum menjadi apa-apa, lalu menjabat Ketua Umum PBNU (1984-1999), menjadi Presiden, dan kembali menjadi anggota masyarakat biasa, tepatnya sebagai tokoh pejuang demokrasi, perdamaian dan multikulturalisme di sebuah negara yang justru sangat pluralistik, Sinta Nuriyah tetaplah sama. Ia tidak pernah berubah. Termasuk ketika suami yang sedang menjabat Presiden, itu diisukan melakukan perselingkuhan dengan seorang wanita Sinta Nuriyah Wahid tetap tegar sebagai istri yang percaya akan kebaikan suami.

Menolak poligami
Dra Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum kelahiran Jombang 8 Maret 1948, itu tetap setia mendampingi Gus Dur yang penglihatannya semakin menurun sehingga harus dituntun oleh putrinya Yenny. Walau pendampingan itu sendiri harus ia lakukan dari kursi roda. Ia membutuhkan alat bantu itu setelah mengalami kecelakaan mobil pada tahun 1993, pada saat ia justru sedang memasuki semester kedua program studi S-2 Studi Kajian Wanita, di Universitas Indonesia, Depok. Keinginan kuat Sinta untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya tetap tidak berubah kendati sudah hidup di luar Istana. Ia memilih jalur pemberdayaan perempuan sebagai ikon perjuangan baru.

Maka itu ketika berlangsung Muktamar PBNU tahun 2004 ia dengan lantang menolak menu makanan yang disajikan oleh sebuah jaringan restoran waralaba, sebab pemiliknya dikenal luas sebagai penganut poligami. Sikap tegas Sinta itu segera menyadarkan pemikiran banyak orang tentang telah munculnya sebuah dobrakan baru, yang bermaksud mengubah persepsi lama pemikiran kaum lelaki mengenai perempuan. Ia memang tidak main-main dalam perjuangannya. Jauh sebelumnya, pada 3 Juli 2000 Sinta telah mendirikan sebuah lembaga Yayasan PUAN AMAL HAYATI. PUAN, yang diartikan Sinta sebagai “Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan”.

Yayasan itu baru resmi beroperasi sejak Maret 2001. Ada alasan unik mengapa Sinta menundanya. Ia menghindari kemungkinan timbulnya persepsi buruk di masyarakat, sebab tidak mau dikatakan memanfaatkan kedudukan Ibu Negara untuk mendirikan Yayasan. Karena itu ada uang atau tidak Yayasan akan tetap jalan. Tetapi paling tidak pasti akan ada uang dari honor KH Abdurrahman Wahid, sang suami untuk membiayainya.

Sinta yang sudah dilamar oleh Gus Dur sebagai istri saat masih berumur 13 tahun, namun baru diwujudkan kemudian pada pernikahan 11 September 1971, itu memastikan tidak ada campur tangan lembaga dan orang-orang Kepresidenan ketika mendirikan Yayasan. Kecuali sumbangan nama “Amal” dari Alwi Shihab yang ketika itu menjabat Menteri Luar Negeri, yang lalu ditimpali oleh Presiden Gus Dur dengan nama “Hayati”. Sedangkan kata PUAN sudah disediakan Sinta sebagai ikon perjuangannya lewat Yayasan.

Kaji Ulang Kitab Kuning
Sinta bukan hanya lantang menyuarakan penolakan kehidupan poligami. Ia sekaligus menerobos dan memperbaiki persepsi para kiyai tentang perempuan, yang selama ini selalu saja menggunakan paradigma lama berpegang pada Kitab Kuning sebagai pedoman. Isi Kitab Kuning menurut Sinta sesungguhnya tidaklah sepenuhnya sesuai dengan isi al-Quran. Sinta mengatakan isi Kitab berisi relasi suami istri yang menggambarkan kedudukan istri sangat terpuruk. Di situ, disebutkan kedudukan seorang istri ibarat tawanan perang sang majikan (suami) di dalam rumah tangga.

Isi Kitab Kuning kata Sinta berbeda dengan ide kesetaraan gender. Karena itulah keseteraan gender tak akan bergaung di lingkungan pesantren sebab kiyai-kiyai masih tetap beranggapan lama sesuai dengan isi Kitab, dimana kedudukan istri digambarkan sebagai seorang budak di hadapan suami, atau seperti seorang yang menanggung hutang dengan suaminya. Kata Sinta, ada juga yang mengatakan seorang istri sekalipun menjilati nanah di muka suami, kalau suaminya itu tidak ridho maka tidak akan berarti apa-apa.

Hal itu membuat Sinta merasa ganjil, apakah memang benar Islam mengajarkan hal itu. Karena Sinta merasa itu tidak benar maka ia mengkaji ulang isi Kitab Kuning, dan ternyata hadits-hadits seperti itu adalah hadits-hadits palsu. Sinta harus mengkaji ulang Kitab Kuning setelah sebelumnya berhasil membuat tesis, berjudul “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi” dengan mengambil responden dari kalangan pesantren dan non pesantren.

Sinta menyarankan pihak-pihak yang berpendapat bahwa poligami boleh, itu sebaiknya mengkaji al-Qur’an lebih dalam, saksama, teliti, dan semua aspek mesti dikaji lagi. Sebab, menerjemahkan al-Qur’an tidak terbatas pada lingkup yang tekstual tapi juga kontekstual. Termasuk mencakup kajian asbâb al-nuzûl (sebab diturunkannya) dan melihat bahasanya.

Secara tekstual ayat poligami memang berbunyi, “fankihû mâ thâba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’…”, (nikahilah dua atau tiga atau empat perempuan yang baik menurutmu). Ayat ini kata Sinta jangan dipotong sampai di situ saja, sebagaimana umumnya orang banyak memotong hanya hingga penggalan ayat tersebut. Sebab masih ada sambungan yang sering dilupakan yakni, “Fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah” (sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja).

Masalahnya, kata Sinta, keadilan itu dilihat dari sudut mana dan ukuran siapa. Al-Qur’an memiliki dua padanan kosakata untuk kata keadilan yaitu qashata dan ‘adala. Qashata sering dipakai untuk pengertian “keadilan yang bersifat materil”. Sementara ‘adala untuk “keadilan yang bersifat immateril termasuk cinta, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya.” Nah, dalam ayat tadi al-Qur’an menggunakan kosakata ‘adala.

Jadi yang dituntut dalam ayat, yang justru sering dijadikan justifikasi teologis poligami, adalah keadilan yang bersifat immateril. Maka jika sudah bicara keadilan immateril itu dipastkan tidak bisa diwujudkan melalui poligami. Dalam al-Qur’an, masih dalam surat Al-Nisâ’, disebutkan, “Falâ tashtathî’u ‘an ta’dilû baina al-nisâ’ walau haratstum” (engkau tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu). Jadi keadilan tidak akan mungkin terwujud melalui praktik-praktik poligami.

Sinta menyatakan bahwa poligami secara eksplisit tidak diperkenankan menurut al-Qur’an. Ia juga menyebut banyak hadits Nabi Saw yang tidak membolehkan poligami. Sebagai contoh, ketika Ali ra minta izin untuk menikahi Juwairiyyah Rasulullah langsung menolak. Dia tidak mengizinkan karena Fatimah (istri Ali, anak Rasulullah) adalah bagian dari Nabi. Nabi itu tegas-tegas mengatakan sampai tiga kali tidak mengizinkan. Itu tentu berarti poligami tidak diperkenankan.

Kalaupun ada pandangan populer bahwa poligami adalah bagian dari ajaran Islam, Sinta memastikan pandangan itu salah dan kesalahan terjadi karena ayat al-Qur’an diartikan secara tektual seperti halnya membaca secara letterlijk, dan ditambah lagi ada kepentingan laki-laki (male-biased) di dalamnya. Maka akibatnya adalah muncul pandangan populer yang salah, jadi bukan dilalah-nya (maksud utama) yang ditonjolkan.

Sinta menyebutkan salah satu tujuan Allah mengutus Nabi adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari belenggu-belenggu yang mengikat. Setelah belenggu mulai terbuka dan teratasi, Nabi wafat, sayangnya muncul kembali keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan. Sinta mencontohkan adanya hadits yang menyebutkan, bahwa malaikat akan melaknat perempuan semalam suntuk bila menolak “ajakan” suaminya. Menurut Sinta hadits ini justeru menunjukkan kelemahan laki-laki sebab tidak berani kepada perempuan. Untuk melakukan hubungan seksual saja laki-laki harus meminta bantuan laknat malaikat.

Tak Terhalang Keterbatasan Fisik
Ibu dari empat orang putri Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina), ini tergolong aktivis organisasi. Ia adalah anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang merupakan federsi berbagai organsiasi wanita di Indonesia, juga anggota Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (National Commission on the Status of Women).

Bersama organisasi-organisasi lain, sebelum mendirikan Yayasan PUAN Sinta sudah aktif memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hanya saja ia tidak mengerti betul apa yang menjadi tujuan perjuangan organisasi tersebut. Ia pun merasa sesungguhnya tidaklah tertarik untuk terjun ke dalam perjuangan perempuan.

Perubahan besar baru dapat dialaminya setelah mengkaji Kitab Kuning tadi, lalu iapun mendirikan Yayasan PUAN Amal Hayati. Di Yayasan ini Sinta mulai sangat mengerti betul, dan sekaligus ingin berjuang membela kepentingan perempuan baik perempuan yang berada di dalam maupun di luar rumah tangga yang sama-sama banyak mendapat ketidakadilan.

Keterbatasan gerak fisik akibat kecelakaan tak menghambat munculnya ide-ide segar dari Sinta Nuriyah. Kegigihannya berjuang menempatkan wanita Indonesia pada posisi yang terhormat justru makin mencuat setelah secara fisik ia tidak dapat berbuat apa-apa. Padahal tugas rutin mendampingi seorang tokoh yang sangat dan selalu kontroversial, Gus Dur, itu tak kurang rumitnya. Kecelakaan mobil tahun 1993 memang membuat Sinta harus berada di kursi roda.

Ia mengalami kelumpuhan tak dapat menggerakkan bagian tubuh dari leher hingga kaki. Ia membutuhkan waktu satu setengah tahun perawatan untuk dapat dikatakan sembuh, walau harus tetap menggunakan alat bantu kursi roda. Tentang kelanjutan kuliahnya di UI Sinta pernah meminta pihak kampus agar memberikan kelonggaran dengan menyediakan ruang kuliah khusus baginya, yang dapat dijangkau kursi roda seperti di lantai bawah. Namun permintaan itu tak dapat dipenenuhi dan Sinta harus kuliah di lantai empat.

Maka ketika sudah semester empat Sinta yang bertekad menyelesaikan kuliah dengan rendah hati sadar, ialah yang membutuhkan belajar bukan pihak kampus. Iapun bersedia kuliah di lantai empat. Tapi apa mau dikata lift kampus kemudian rusak. Tapi Sinta tak mau kehilangan akal. Ia kemudian memasuki ruang kuliah layaknya Jenderal Sudirman saat berjuang melawan penjajah, yakni digotong di atas tandu dinaik-turunkan dari bawah ke lantai empat dan sebaliknya. Kejadian seperti itu berlangsung satu semester penuh menunggu hingga liftnya selesai diperbaiki.

Bersuamikan Pria Romantis
Sinta sangat sadar ia bersuamikan seorang pria yang sangat kontroversial. Karena kontroversial itu banyak yang suka dan banyak pula yang tak suka terhadap suaminya. Gus Dur ketika menjabat Presiden banyak disanjung-sanjung hingga diberi gelar sebagai “Bapak Bangsa”. Namun serta-merta Sinta menolak jika disebut pula sebagai “Ibu Negara”. Sinta beralasan, yang namanya “Ibu Bangsa” tidak selalu harus pasangan dari “Bapak Bangsa”. Sebab bisa saja istri dari “Bapak Bangsa” kadang-kadang berpendidikan rendah sehingga tidak layak disebut “Ibu Bangsa”.

Walau menolak disebut “Ibu Bangsa” Sinta Nuriyah sangatlah berperan besar menunjang karir dan kesuksesan Gus Dur di kancah politik nasional. Ia berprinsip sederhana, seorang istri kalau bisa menciptakan ketenangan dalam rumahtangga berarti suami akan tenang. Jika di luaran Gus Dur banyak memainkan jurus-jurus ‘silat’ perpolitikan nasional, di rumah Sinta menawarkan tema pembicaraan keluar dari politik untuk masuk ke hal yang ringan-ringan.

Namun jika Gus Dur yang, kata Sinta ia tergolong pria romantis, itu memasuki pembicaraan area politik maka Sinta yang menguasai aktif bahasa Inggris, Arab, dan Perancis tetap mau meladeni dan mampu pula menanggapinya.

Sinta pun menjadi bisa memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi adalah cara yang jitu bagi Sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur. Setiap muncul ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari amsyarakat maka Sinta akan mencoba memahami, atau paling tidak keduanya berdiskusi dulu. Diskusi seolah telah menjadi ‘menu’ pengganti keromantisan Gus Dur, yang menjadi semakin sibuk sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Jika Gus Dur ‘sibuk’ sendiri maka Sinta sebagai ibu yang baik akan tetap telaten mendidik anak-anak dan memelihara keharmonisan rumahtangga.

Sinta kerapkali memperlakukan Gus Dur sebagai teman yang baik, sebagaimana pernah ia tuangkan dalam tulisan “Sehari Bersama Abdurrahman Wahid”. Itu, adalah sebuah artikel reportase hasil ‘investigasi’ Sinta saat mengikuti keseharian kegiatan Gus Dur kemanapun suaminya pergi. Sinta, selain aktivis organisasi ternyata pernah pula berprofesi sebagai wartawan, yakni pada tahun 1980-1985 di Majalah “Zaman”. Profesi itu harus berhenti karena majalahnya ditutup, Sinta lalu sempat bekerja untuk Sybah Asa (Tempo).

Hidup diijinkan Sinta mengalir begitu saja tanpa harus dipersiapkan menjadi ini atau menjadi itu. What ever wil be, will be, kata Sinta. Prinsip what ever will be semakin ketika ia ‘harus’ menjadi “First Lady” Indonesia, sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah ada dalam kamus dan skenario hidup Sinta. Maka itu ketika Gus Dur diminta mundur tahun 2001 Sinta dan keluarga tak perlu berkecil hati. Ia malah menganjurkan Gus Dur agar secepatnya saja mundur. Ia dan anak-anak tak harus shock atau down, karena sejak sebelum menjadi Presiden pun mereka sudah terbiasa akan kontroversialitas Gus Dur.

Apalagi, Gus Dur yang diminta menjadi Presiden maka ketika diminta tidak lagi menjadi Presiden pun menjadi tidak apa-apa pula. Sinta sudah menyerahkan hidup secara total ke dalam perlindungan Tuhan. Maka tak heran jika Sinta yang gemar membaca, sehingga kerapkali dikirimi buku ‘silat asli’ dari Cina oleh Gusdur sampai kecanduan, itu sesekali masih mau turun ke jalan berdemonstrasi sebagaimana kebiasaannya saat menentang pemerintahan Soeharto.

Sinta sangat percaya akan suaminya. Karena itulah isu perselingkuhan yang dituduhkan pada Gus Dur yang disertai dengan bukti-bukti otentik segala, itu tak membuat Sinta goyah. Ia tetap percaya, memahami, hingga mengagumi suami. Sebagai tokoh kontroverisial Sinta paham banyak yang ingin menjatuhkan suaminya.

Salah satunya menggunakan perempuan, untuk mengusung isu perselingkuhan yang ternyata tidak terbukti kebenarannya. Tanpa selingkuh pun, kata Sinta, sudah banyak orang yang menawari suaminya kawin lagi. Orang itu sekaligus menyodorkan anaknya segala, atau siapanya kepada Gus Dur sebab katanya untuk ngalap berkah. ►ti/ht

3. Solichah, Ibu Gus Dur

Solichah dilahirkan pada 11 Oktober 1922 di sebuah desa bernama Denanyar. Ibunya, Noer Khodijah, adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakberas dan ayahnya, Kyai Bishri Syansuri adalah seorang ulama keturunan kyai dari pesantren Lasem. Kelahiran Solichah diliputi oleh suasana perjuangan yang membingkai alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai putri seorang kyai, Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga pesantren orang tuanya dan juga telah belajar makna status social dari dimensi prestige yang melekat dan diwarisinya sejak dilahirkan. Pada masa Solichah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat diliputi kecemasan menyongsong malapetaka Perang Dunia II. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya semakin meluas menjangkau masyakarat di luar pesantren, Solichah remaja mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya, yaitu menekankan agar generasi remaja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari gaya hidup kaum colonial penindas yang kafir. Lingkungan pesantren di mana Solichah remaja hidup dalam kesehariannya juga memiliki selera budaya terutama kesenian yang berbeda dengan yang hidup di dunia para kolonialis dan yang digemari oleh para priyayi. Pada masa remajanya, Solichah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilahan dua pandangan dunia yang antagonistik tersebut. Para gadis juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami, dasar pertimbangan urusan perjodohan yang hidup di dunia pesantren berbeda dengan yang hidup di kalangan warga pedesaan pada umumnya. Laki-laki yang terpilih untuk mendampingi Solichah adalah pilihan Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dari pondok pesantren Tebuireng dan seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra Kyai Cholil dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrohim dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Pada usianya yang belum memasuki usia ke 15 tahun, Solichah telah menyandang status janda. Solechah kemudian diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitan yang kedua. Calon suami yang kedua juga berasal dari keluarga pondok pesantren, hanya bedanya kali ini Solichah sudah mengenal lebih dahulu calon suaminya. Calon suami keduanya adalah Wahid Hasyim putra kandung Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari yang pernah bertemu dengannya ketika ta’ziyah. Pernikahan mereka diselenggarakan pada tanggal 10 Syawal 1356 H atau 1938 M dan kemudian dikaruniai empat orang anak laki-laki dan dua orang perempuan. Usia perkawinan Solichah dan Wahid Hasyim hanya berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, karena pada tahun 1953 suami tercintanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan sementara Solichah sedang mengandung anak keenam. Sepeninggal suaminya, Solichah tetap gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan keluarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Solichah inilah yang sangat menentukan perjalanan hidup anak pertamanya, Abdurrahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang presiden. Solichah meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, setelah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya di komplek pemakaman Tebuireng Jombang.

4.Yenny Wahid, Anak Gus Dur

Yenny Wahid bernama lengkap:Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, 29 Oktober 1974 bersaudara antara lain Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman (anak), Anitta Hayatunnufus Rahman (anak), Inayah Wulandari Wahid (anak). Pendidikan: Sarjana desain dan komunikasi visual dari Universitas Trisakti dan Master dari Harvard University.

Pekerjaan:Koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne), 1997-1999, Direktur The Wahid Istitute (2004-sekarang), Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Sekjen DPP PKB, 2006-sekarang

Penghargaan:Australia`s Premier Journalistic Award – The Walkleys
Alamat:Jl Al Munawaroh No 10 Ciganjur, Jakarta Selatan

Yenny Wahid merupakan Regenerasi Politik Gus Dur

Dia selalu mendampingi Gus Dur. Kemudian dia dipercaya menjabat direktur The Wahid Institute, sebuah lembaga kajian Islam dan kebudayaan yang diprakarsai KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama rekan-rekannya. Bisa jadi, kehadiran mantan koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne), ini memberikan warna tersendiri bagi wajah politik di Indonesia. Sempat menjadi staf khusus Presiden SBY sebelum menjadi Sekjen DPP PKB 2006 sampai sekarang.

Keberadaannya menjadi awal dimulainya proses magang politik oleh generasi orangtua, yang kini menjadi pemain politik kunci –dalam hal ini Gus Dur. Salah satu ‘magang politik’ yang sedang dilakoninya adalah turut serta bersama-sama Susilo Bambang Yudhoyono, calon presiden RI, dalam berbagai hajatan. Itu artinya, keluarga Ciganjur ini menyusul model regenerasi serupa yang dilakukan keluarga Presiden Megawati. Keluarga Mega sudah lebih dulu melibatkan putri mereka, Puan Maharani, ke pelbagai kesempatan.

Selain menjadi mata dan telinga bagi Gus Dur, lulusan sarjana desain dan komunikasi visual dari Universitas Trisakti, ini juga sering memberikan berbagai masukan tentang isu yang sedang hangat terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Ia mengakui bahwa mendampingi ayahnya tidaklah mudah. Perlu banyak kesabaran, pengertian dan cinta. Selain menemani Gus Dur, Yenny juga membacakan isi surat kabar untuk ayahnya meski terkadang beritanya termasuk berita buruk. Namun sekarang, ia sudah dibantu oleh asisten untuk melakukan itu.

Yenny Wahid yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, 29 Oktober 1974 dalam lingkungan keluarga NU. Pola pikirnya pun tidak jauh dengan ayahnya yang lebih mengedepankan Islam yang moderat, menghargai pluralisme dan pembawa damai. Dengan adanya The Wahid Institute diharapkan dapat meneruskan apa yang selama ini Gus Dur perjuangkan bahkan tidak tertutup kemungkinan muncul pemikiran-pemikiran Islam yang lebih progresif.

“Tujuan The Wahid Institute sejalan dengan visi Gus Dur, yaitu membangun pemikiran Islam moderat, yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim Indonesia,” kata Yenny dalam acara peresmian The Wahid Institute yang diselenggarakan di ballroom Hotel Four Seasons (dahulu Regent), Jakarta, Selasa (7/9/2004).

Salah satu program The Wahid Institute, tambah Yenny, antara lain mengkampanyekan pemikiran Islam yang menghargai pluralitas dan demokrasi. Selain itu melalui program pendidikan, kita akan mendidik kyai-kyai muda yang ada di desa berdasarkan visi Gus Dur tadi,” jelas alumnus Harvard University ini.

Sebelum terjun secara khusus mendampingi ayahnya, Yenny bertugas sebagai reporter di Timor-Timur, sebuah provinsi di Indonesia yang penuh kekerasan militer yang kini memisahkan diri menjadi negara sendiri. Ia menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne) antara tahun 1997 dan 1999. Saat itu, meski banyak reporter keluar dari Timor Timur, Yenny tetap bertahan dan melakukan tugasnya. Ia sempat kembali ke Jakarta setelah mendapat perlakuan kasar dari milisi, namun seminggu kemudian ia kembali ke sana.

Belum terlalu lama menekuni pekerjaannya, ia berhenti bekerja karena ayahnya, Gus Dur terpilih menjadi presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001). Ia menelepon kantornya dan mengatakan kepada pimpinannya bahwa ia tidak bisa pergi ke kantor karena ayahnya terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sejak itu, kemanapun Gus Dur pergi, Yenny selalu berusaha mendampingi ayahnya.

Kini, dengan adanya kesibukan baru sebagai Direktur The Wahid Institute, Yenny harus semakin arif mengatur waktu. Ketika ditanya kapan waktu untuk pacaran, ia dengan tangkas mengatakan, “Sampai saat ini saya masih sendiri. Tidak ada waktu untuk pacaran. Bayangkan, dari pagi sampai malam saya melayani Bapak. Kalau ada yang menanyakan tentang pacar, tolong katakan saja bahwa hanya ada satu laki-laki dalam hidup saya.”

Dengan penuh penasaran wartawan balik bertanya, siapa orangnya. “Yaitu KH Abdurrahman Wahid,” kata Yenny dengan wajah serius tanpa senyum. “Bagaimana saya bisa pacaran, saya sesibuk ini. Saya tidak punya kehidupan pribadi,” tambah perempuan yang suka belanja sendiri bahan busananya ke Pasar Mayestik ini dengan singkat.

Meski mengaku sibuk, perempuan manis seperti Yenny pasti mempunyai segudang penggemar. Kecantikan yang terpancar dari dalam dirinya cukup membuat banyak lelaki jatuh hati padanya. Lihat saja senyumannya, gaya bicara saat berpidato, kecerdasannya dan keramahaannya sudah akrab kita temui dimanapun ia berada. ►tsl

Sumber: http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id

3 Tanggapan

  1. dengan saya membaca smua , saya banyak mendapatkan pelajaran
    slamat jalan gus dur ……….
    slamat jalan guru bangsa ku………
    semoga ketulusanmu di terima di sisiNYA
    AMIEN………….!!!!

    Suka

  2. Selama jalan Gusdur…
    Semoga mendapat tempat yang paling layak disisi-Nya. Amin

    Suka

  3. ▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■
    ★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★

    [video] penampakan kuntilanak di termehek 13 Des 2009
    http://kuntil.notlong.com/

    serem gan!

    ★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★
    ■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓■▓

    Suka

Tinggalkan komentar